Kini Zamannya Live Selling

Home shopping menjadi terobosan strategi penjualan melalui media konvensional dan live selling pada media online, masing-masing menjadi bintang pada zamannya. Foto: Dok. Pribadi
Home shopping menjadi terobosan strategi penjualan melalui media konvensional dan live selling pada media online, masing-masing menjadi bintang pada zamannya. Foto: Dok. Pribadi

BogoRaya.co – Sekitar 15 tahun lalu, ada perusahaan yang bisa menjual wajan hingga 11 ribu unit setiap hari dengan cara berjualan langsung melalui siaran TV.

Sekarang ada pedagang kembang yang butuh waktu dua minggu untuk menyelesaikan ribuan pesanan gara-gara membuat siaran langsung dua jam di media sosial. Fenomena apa?

Coba buka fitur live video di Instagram, Tiktok, Facebook dan Youtube. Pasti bisa Anda temukan tiga jenis konten siaran langsung itu: Live event, live report dan live selling. Penontonnya sering kali sangat banyak. Di luar ekspektasi.

Banyaknya penonton acara live selling merupakan fenomena baru. Kala 15 tahun lalu, tidak mudah mendapatkan penonton begitu banyak untuk program penjualan produk melalui siaran langsung di stasiun TV.

Baca juga: Transformasi Warung Dona

Live selling memang bukan home shopping yang tayang di stasiun TV. Tetapi dua-duanya menggunakan konsep kreatif yang sama: Jual-beli produk jarak jauh dari mana saja.

Bedanya, live selling menggunakan platform e-commerce yang dipublikasikan melalui platform media sosial. Sedangkan home shopping menggunakan platform media TV digabungkan dengan jaringan telepon.

Boleh dibilang home shopping adalah cikal bakalnya live selling. Home shopping menjadi terobosan strategi penjualan melalui media konvensional dan live selling pada media online, masing-masing menjadi bintang pada zamannya.

Saya mengenal teknik produksi home shopping saat bekerja di JAK TV pada tahun 2007. Namun pelajaran yang saya peroleh hanya sebagian saja, yakni bagian post productions. Pada fase ini, jenis pekerjaannya adalah dubbing, subtitling dan video editing saja.

Baca juga: Menciptakan Pesaing

Dubbing dan subtitling diperlukan karena konten yang akan ditayangkan berasal dari productions house di Korea Selatan. Bahasa pengantarnya masih Bahasa Korea. Begitu pun infografinya. Penonton Indonesia pasti bingung.

Pernah juga sesekali membuat produksi video. Tetapi fungsinya hanya sebagai pengisi atau video insertion. Itu pun kejadiannya tidak sengaja. Hari itu, ada penonton yang protes ke redaksi saat menayangkan video penjualan produk baju untuk gym.

Menurut penonton, videonya terlalu seksi. Tidak sesuai dengan situasinya. Ternyata, hari itu merupakan hari pertama Ramadan.

Produksi konten home shopping sungguhan baru saya lihat langsung di Studio LG TV, stasiun TV spesialis home shopping di Seoul, Korea Selatan, tahun 2012. Dari sinilah saya mendapat pelajaran penting tentang teknik produksi konten yang sangat efisien.

Baca juga: Kembali Terciduk

Produksi konten home shopping memang harus efisien: Teknisnya sederhana dan prosesnya cepat. Dengan begitu, biaya produksinya bisa lebih rendah. Sebab biaya produksi dan publikasi diperoleh dari margin penjualan produk.

Konsekuensinya: Semakin mahal biaya produksinya, semakin besar pula target penjualannya. Tetapi bukan berarti kalau biayanya makin murah, target penjualannya boleh turun. Target penjualan harus tetap tinggi agar keuntungan perusahaan bisa optimal.

Setelah belajar seminggu di perusahaan home shopping terbesar di Korea Selatan itu, saya pun mulai membuka jasa produksi home shopping di studio Jagaters di Graha Pena Jawa Pos, Jakarta Selatan. Dari studio itulah aneka produk dijual kepada konsumen melalui siaran langsung di stasiun TV di seluruh Indonesia.

Mengelola usaha penjualan produk dengan konsep home shopping ternyata tidak mudah. Tidak sesederhana yang saya bayangkan sebelumnya.

Baca juga: Dino atau Ayam?

Di balik layar kaca yang tampak begitu glamor dan menyenangkan, ada ratusan tenaga customer service yang harus sigap menerima telepon, mencatat order, membuat purchasing order, membuat surat jalan, mengurus resi pengiriman dan mendata komplain.

Di LG TV, informasinya ada 1.200 customer service yang bertugas dalam tiga shift. Masing-masing shift 8 jam. Di Jakarta, perusahaan home shopping terbesar yang saya tahu hanya memiliki customer service sepersepuluhnya saja.

Sekarang dengan konsep live selling, kerepotan memang jauh berkurang. Penonton tidak perlu menelepon untuk memesan atau membeli produk. Cukup tekan tombol yang tersedia di aplikasi.

Saya pun mulai membuka-buka file lama. Membaca-baca lagi konsep produksi home shopping yang sudah terkubur di laci sejak 8 tahun lalu. Saya coba konversikan konsep home shopping ke konsep live selling. Siapa tahu, akan nada gunanya.

Joko Intarto

Penulis adalah founder www.jagatersstudio.com